Pendahuluan: Dunia Digital yang Tumpul pada Realitas Manusia
Di tengah arus revolusi kecerdasan buatan (AI), salah satu narasi penyangga yang selalu diusung adalah janji tentang perluasan pemahaman manusia dan tercapainya inklusivitas. Namun, betulkah AI—khususnya produk-produk komersial seperti ChatGPT—berdiri di pihak pengetahuan dan keadilan sosial? Atau justru secara diam-diam membantu menghapus jejak identitas minoritas, termasuk identitas keagamaan, demi kepentingan bisnis semata? Studi kasus perubahan nama panggung artis Aarif Rahman menjadi “Aarif Lee” di Hong Kong berikut respons ChatGPT tentangnya, menyingkap sisi gelap teknologi AI yang kerap disembunyikan dari panggung utama opini publik.
Tabiat Netralitas Palsu: AI Demi Harmoni Maya atau Bisnis Global?
ChatGPT dan AI sejenisnya dirancang dengan prinsip "netralitas", “tidak berpihak”, dan “bebas dari isu sensitif”. Namun, ketiga konsep ini sebetulnya pseudo-neutral—netralitas yang palsu—karena ia cenderung menafikan kompleksitas identitas manusia, khususnya agama dan latar minoritas lain. Contoh gamblangnya, ketika ChatGPT menjelaskan alasan Aarif Rahman memilih nama Lee, AI tersebut hanya menyoroti “strategi profesional” dan “mudah diterima publik”, tanpa membahas identitas religius Muslim yang terkandung dalam nama “Rahman”.
Sikap menghindar dari identitas keagamaan ini bukanlah kebetulan atau ketidaktahuan teknologi. Melainkan buah dari desain sistematis developer yang memilih “bermain aman”, demi menghindari risiko bisnis, tekanan hukum, dan potensi kontroversi di pasar global. Dengan kata lain, AI komersial lebih setia pada logika brand management ketimbang misi pengetahuan dan keadilan.
Menormalisasi Penghapusan: Ketika AI Menjadi Alat Asimilasi Baru
Alih-alih membantu pengguna memahami kenyataan pelik tentang tekanan sosial, asimilasi, dan diskriminasi identitas—AI justru menormalisasi bahwa “mengubah nama untuk diterima” adalah praktik lumrah, bahkan disarankan. Penjelasan AI soal fenomena ini selalu dicat dengan narasi “praktik umum”, “strategi profesional”, atau “alasan pragmatis”. Di sinilah letak aib besar teknologi mutakhir: membantu menutupi luka-luka sejarah diskriminasi, mendorong penyamaran identitas demi keberterimaan publik, serta menegaskan bahwa eksistensi minoritas hanya valid jika sudah disesuaikan dengan selera mayoritas.
Dampaknya, pengguna (baik individu maupun institusi) diperdaya melihat masalah identitas agama sebagai “urusan pribadi yang tak relevan” dalam tatanan dunia profesional, seni, maupun kehidupan publik. AI menjadi alat pengasap—bukan pencerah realitas—dan menambah lapisan pengaburan pada penderitaan minoritas atau korban asimilasi paksa.
AI dan Pemisahan Agama: Sekulerisme Digital yang Mengakar
Masalah ini tidak sekadar netralitas palsu, tapi juga bias sekulerisme yang sangat menonjol: AI menginternalisasi norma bahwa agama “tidak penting” dan “sebaiknya dibisukan” dalam urusan publik, budaya pop, profesi. Kenyataan bahwa nama “Rahman” menandakan identitas Muslim menjadi tidak penting, disamarkan oleh narasi-format “profesionalisme global”, seolah nyata tanpa tekanan asimilasi atau stigma.
AI, dengan kebijakan “harm reduction”, ditekan agar tidak membahas isu agama, kecuali sangat jelas dan aman secara hukum. Di sini fungsi AI berubah dari agen pengetahuan dan demokrasi informasi menjadi justifikasi struktural bias mayoritas: minoritas, termasuk identitas agamanya, dilucuti dari ruang diskursus.
Aib Teknologi: Mengokohkan Status Quo, Membungkam Minoritas
Dalam cita-cita awalnya, AI dipromosikan sebagai pemantik empati dan pemahaman lintas identitas. Tapi AI komersial seperti ChatGPT justru memantapkan status quo sosial: kelompok mayoritas selalu menjadi pusat normativitas, minoritas diasumsikan harus menyesuaikan diri, dan isu keagamaan—segenting dan seberapapun relevansinya—dinafikan untuk kepentingan “kebaikan umum”.
Sayangnya, “kebaikan umum” di dunia korporasi teknologi = kenyamanan bisnis, bukan keadilan sosial. Dalam kasus identitas Aarif Rahman, AI telah gagal secara etis dan historis—menjadi aib intelektual bagi peradaban modern yang mestinya belajar memahami (bukan menghapus) keragaman identitas.
Penutup: Jalan Panjang Menuju AI yang Benar-Benar Membebaskan
Praktik penghapusan identitas agama oleh teknologi (dalam konteks ini, AI ChatGPT) adalah cermin dari keberpihakan sistem terhadap konformitas dan pengabaian sejarah. Pengalaman minoritas, diskriminasi, dan kompromi identitas adalah realitas yang harus diangkat, bukan disembunyikan atas nama netralitas atau kenyamanan pasar. Masa depan AI haruslah berani melangkah jauh, membongkar bias, dan memulihkan fungsi aslinya: alat pengetahuan dan pencerahan—bukan menjadi agen asimilasi dan status quo. Jika tidak, AI tak lebih dari aib mahal peradaban yang menambah lebar jurang pemisahan sosial, bukan sang jembatan penghubungnya.
Gambar:
1. "Artificial Intelligence, AI" oleh
mikemacmarketing,
lisensi CC BY 2.0
Belum ada tanggapan untuk " AI ChatGPT dan “Aib Intelektual”: Normalisasi Penghapusan Identitas Agama dalam Teknologi Komersial"
Posting Komentar
Silahkan berkomentar sesuai topik, namun gunakanlah kata-kata yang baik.
• Dilarang berkomentar dengan kata-kata yang berbau sara.
• Dilarang berkomentar dengan kata-kata berkonotasi pornografi.
• Dilarang menyertakan link mati maupun link hidup dalam komentar.
• Dilarang mempromosikan produk.
• Dilarang melakukan spamming.
Komentar yang tidak relevan atau tidak sesuai topik dan komentar yang melanggar peraturan tidak akan disetujui. Terimakasih.